Sitemap

Perangkap Tak Terlihat di Dompet Kelas Menengah

4 min readApr 17, 2025

Kelas menengah makin terjepit. Pendapatan naik, tapi uang belanja makin seret. Kenapa bisa begitu?

Kita sering dengar istilah “kelas menengah”.
Tapi, tahukah Anda? Kelas ini sedang menghadapi jebakan.
Bukan jebakan Batman, tapi jebakan ekonomi.

Mari kita sederhanakan.

Gaji bulanan Anda dipotong pajak. Lalu bayar cicilan utang. Kemudian, memenuhi kebutuhan pokok: sewa rumah, listrik, makan, pendidikan anak, dan kesehatan.

Sisanya?
Ditabung atau diinvestasikan: entah di tabungan biasa, reksa dana, arisan, atau deposito.

Yang tersisa setelah semua itu disebut Disposable Income, uang yang benar-benar bisa Anda pakai untuk belanja, makan di luar, beli baju, ganti HP, atau sekadar nonton bioskop.

Menurut para ekonom, idealnya sisa ini minimal 25% dari total penghasilan. Kalau kurang dari itu, artinya Anda hidup ‘pas-pasan’. Alias, tidak bisa mendorong konsumsi.

Padahal, konsumsi adalah bahan bakar utama ekonomi.

Jalan Pintas Kredit ala Amerika

Amerika punya pendekatan berbeda: kenapa harus menunggu punya uang lebih untuk belanja?

Mereka mengandalkan kredit.

Mau beli TV seharga $2.199? Cukup bayar $199 di muka, sisanya dicicil selama beberapa bulan.
Mau liburan senilai $6.000? Bayar $800 dulu, sisanya dicicil per bulan.

Dengan cara ini, konsumsi tetap berjalan, ekonomi mereka tumbuh.

Tapi, ada konsekuensinya: utang menumpuk.

Amerika tidak terlalu khawatir, karena mereka percaya utang bisa dikelola dengan kenaikan gaji atau pengurangan tabungan.

Hemat dan Efisien versi China

China memilih jalur berbeda.

Mereka menekan harga kebutuhan pokok: pendidikan terjangkau, perumahan murah, listrik dan makanan dengan harga wajar.

Pajak pun dikurangi.

Hasilnya? Pendapatan yang bisa dibelanjakan meningkat.

Namun, ada tantangan: masyarakat China dikenal gemar menabung.
Tingkat tabungan mereka mencapai 44,7%. Akibatnya, uang yang seharusnya beredar untuk konsumsi justru disimpan.

Konsumsi rendah, pertumbuhan ekonomi pun terhambat.

Inilah yang disebut Middle Class Trap, pendapatan meningkat, tapi konsumsi tetap rendah.

Cara Amerika seperti bilang ke China, “Buka keran kredit, kurangi tabungan!”.

Tapi, China punya prinsip: **hemat pangkal selamat**.

Dimana Posisi Indonesia?

Indonesia berada di persimpangan jalan.

GDP per kapita kita pada 2024 mencapai sekitar Rp78,6 juta atau sekitar US$4.960.33.

Pendapatan bulanan rata-rata masyarakat sekitar Rp6,55 juta (Ini angka rata-rata nasional, bukan angka yang dirasakan semua orang, lihat catatan kaki di bawah).

Namun, proporsi disposable income terhadap PDB per kapita menunjukkan tren penurunan, dari 78,9% pada 2011 menjadi 72,7% pada 2023.

Artinya, meskipun pendapatan meningkat, biaya hidup yang tinggi membuat masyarakat memiliki lebih sedikit uang yang benar-benar bisa dibelanjakan.

Kelas menengah kita terjebak: pendapatan naik, tapi pengeluaran naik lebih cepat.

Artinya, setelah membayar kebutuhan pokok, dan masih juga dibebani pajak, banyak masyarakat yang tidak memiliki cukup sisa untuk konsumsi tambahan.

Kondisi ini menghambat pertumbuhan ekonomi karena konsumsi domestik yang rendah.

Siapa yang Benar?

Setiap negara punya pendekatan berbeda sesuai konteks dan budayanya.
Amerika dengan kreditnya, China dengan hematnya.

Indonesia?
Kita perlu menemukan keseimbangan: mendorong konsumsi tanpa terjebak utang, sambil tetap menjaga budaya menabung dan investasi.

Kelas menengah harus cerdas mengelola keuangan.

Jangan sampai terjebak dalam lingkaran utang, tapi juga tidak menahan konsumsi yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi.

Jebakan itu nyata.
Tapi, dengan strategi yang tepat, Anda bisa menghindarinya.

*Catatan kaki:

Rata-rata Pendapatan Rakyat Indonesia

Tahun 2024, BPS mencatat pendapatan rata-rata orang Indonesia sekitar Rp 6,55 juta per bulan, atau Rp 78,6 juta per tahun.

Tapi tunggu dulu. Ini angka rata-rata nasional, bukan angka yang dirasakan semua orang.

Sama seperti kalau kita duduk bertiga:

  • Si A punya Rp 1 juta,
  • Si B punya Rp 2 juta,
  • Si C punya Rp 17 juta.

Kalau dirata-rata, pendapatan kita Rp 6,6 juta per orang. Padahal cuma satu orang yang pegang uang paling besar. Dua lainnya? Masih seret.

Itulah PDB per kapita.

Angka ini adalah total uang yang dihasilkan Indonesia, dibagi dengan jumlah penduduk. Tapi angka ini tidak menunjukkan siapa pegang berapa.

Jadi, apa artinya angka Rp 6,55 juta tadi?

Itu bukan gaji yang diterima semua orang. Bukan juga upah minimum.
Itu sekadar angka rata-rata nasional, termasuk dari orang-orang yang gajinya miliaran, sampai yang belum punya penghasilan tetap.

Contoh mudah:
Bayangkan satu desa. Ada satu orang juragan sawit, lima guru, sepuluh petani, dan dua puluh buruh harian. Kalau pendapatan juragan sawit sangat tinggi, maka rata-rata pendapatan satu desa ikut naik, padahal mayoritas warganya hidup sederhana.

Begitu juga di Indonesia.

Orang Jakarta yang kerja di BUMN atau startup besar, bisa gajian puluhan juta. Tapi tukang ojek di desa, pedagang kecil di pasar, atau buruh tani? Jauh di bawah angka itu.

Jadi, Kalau Anda dengar “pendapatan rata-rata orang Indonesia Rp 6,55 juta per bulan”, jangan buru-buru senang. Itu bukan angka yang dirasakan semua orang.

Itu seperti “nilai rata-rata kelas”. Ada yang pintar banget, ada juga yang nilai ulangannya pas-pasan.

Dan inilah kenapa kebijakan ekonomi harus hati-hati. Karena angka rata-rata sering menipu. Yang dibutuhkan bukan sekadar angka tinggi di laporan, tapi pendapatan riil yang benar-benar sampai ke rakyat.

--

--

Aan Setianto
Aan Setianto

Written by Aan Setianto

Business and Technology Enthusiast | Love to learn and share inspiration

No responses yet